Menjadi seorang ayah dan seorang diri membesarkan anak laki-laki berumur empat tahun bukanlah sesuatu yang bagus untuk kau pilih untuk kau jalani. Tapi ini bukan lagi sebuah pilihan. Ini adalah efek dari sebuah keegoisan yang dulu pernah aku agungkan tanpa pikir panjang. Sengaja memisahkan Vano dari ibunya ternyata bukan keputusan yang bijak, dan kini aku harus menanggung semua akibatnya. Bukan, bukan hanya aku. Tetapi kurasa Vano yang lebih banyak menanggung akibat dari keegoisanku itu.
Pada sebuah siang yang terik di hari
Minggu.
Wajahnya
memerah dan basah oleh air mata. Ingus keluar dari hidungnya tak lagi
dapat dikendalikan, terseret hingga ke pipi oleh sapuan punggung
tangannya. Matanya sembab dikelilingi warna merah, terlihat makin lebar
karena kantung matanya menggelembung, Ia menangis hampir setengah jam tanpa
henti.
"Maaf
Papa", katanya padaku. Huh, belum juga lima tahun, sudah pintar cari
muka anak ini. Aku diam saja, mengabaikan permintaan maafnya dan terus memandang
marah padanya. Kemarahan dan semua emosi frustasi seolah tersedot dan
tersalurkan melalui mata marahku yang memandangnya.
"Vano
minta maaaaf" sekali lagi Ia mencoba merayuku dengan permintaan
maaf. Seharian ini kelakuannya benar-benar menjengkelkan. Membuatku
panik setengah mati karena tak dapat menemukannya dimana-mana. Tadi dia
bersepeda di komplek perumahan, aku hanya sebentar saja meninggalkannya untuk kencing, dan dia sudah hilang dari pandangan.
Kesepakatan yang sudah ia langgar adalah bersepeda hanya boleh di sepanjang
gang rumah kami. Lima belas menit terasa begitu lama ketika aku berkeliling
perumahan menggunakan sepeda motor untuk mencarinya. Dengar terpaksa aku bertanya pada tetangga
di sekitar jika mereka melihat anak lelakiku. Aku sebetulnya tidak peduli
dengan apa yang mereka pikirkan, tapi tetap saja aku tak suka dengan tatapan
mata penasaran mereka, tiap aku ‘kehilangan’Vano.
Lega,
saat kulihat dia di pojokan, agak jauh dari sepedanya yang tergeletak di tengah
lapangan. Namun kelegaanku hilang tergilas teror. Kekawatiran dan kemarahan saat kulihat beberapa
anak dengan tubuh lebih besar dari Vano mengelilinginya. Saat aku sudah dekat,
dapat kusaksikan mereka sedang mengeroyok Vano. Anak yang berbaju merah
mengayunkan tinjunya ke lengan Vano, sedetik kemudian disusul oleh anak berbaju
hijau kotak-kotak berambut cepak yang mendorong tubuh kecil Vano hingga jatuh
terduduk. Kemarahanku memuncak dan aku berteriak saat kulihat seorang
anak perempuan mengambil batu yang aku yakin akan dilemparkan ke kepala Vano.
"HEIII!!!", cukup satu teriakan saja dan gerombolah preman cilik itu bubar. Aku
berusaha mengingat dan menghapal wajah mereka, berencana akan memukul mereka
jika ada kesempatan, untuk membalaskan Vano tentu saja. Aku tak akan menanyakan alasan mengapa mereka
memukul Vano, karena aku tak peduli dan aku akan tetap memarahi mereka. Kustandarkan motorku dan berjalan kearah Vano
setelah sebelumnya mengambil sepedanya. Wajahnya pucat namun tidak
menangis. Dia sudah berdiri kembali setelah sempat terjatuh didorong
salah satu preman cilik tadi. Tangannya bergetar berusaha membersihkan
celananya dari debu. Matanya memandangku liar, seolah bingung tidak
tau harus seperti apa. Seperti ingin menangis tapi takut aku
marahi. Seperti ingin memelukku tapi takut aku menolakknya, Bagaimanapun
dia sudah melanggar kesepakat "sepanjang gang" denganku. Dia
tidak menangis, hanya memandangku dengan tatapan yang membingungkan itu. Kulihat
bahunya bergerak naik turun, nafasnya terdengar keras tertiup dari
hidungnya. Brengsek!! Aku marah
karena dia melanggar perintahku. Aku marah karena dia tidak membalas saat
dihajar anak-anak tadi. Aku marah karena aku tidak bisa mengajarinya
membela diri. Aku marah karena hal ini sudah terjadi berulang kali.
Aku marah karena anakku hanya diam saja, bukannya menangis atau mengadu
padaku.
Aku
marah karena aku tidak tau lagi harus bagaimana. Kutarik
tubuhnya menuju motorku. Kami pulang bergoncengan dengan sepedanya berada
di bagian depan motorku. Akhirnya
aku diamkan saja anak itu tanpa membahas masalah tadi. Dia menonton televisi
dan aku melanjutkan pekerjaanku yang seolah-olah tak akan pernah selesai.
Cucian baju dan piring menumpuk karena tak kusentuh selama berhari-hari, dan
aku harus menyiapkan makan siang kami. Meski aku masih jengkel, tak urung aku perhatikan juga apa yang sedang
Vano lakukan, sambil aku sibuk di dapur. Masih didepan televisi, tubuhnya
bergerak ke kanan dan ke kiri seperti menari, tapi terlalu cepat dan tidak
sesuai dengan apa yang sedang ditontonnya. Dia memandangku, matanya
kembali dipenuhi rasa takut. Tubuhnya tak lagi bergerak-gerak, mungkin
dia merasa, menari adalah juga kesalahan, ditilik dari pandanganku yang tidak
bersahabat baru saja. Sebenarnya aku tidak bermaksud marah, tidak ramah
mungkin, kan aku masih belum ingin menunjukkan kalau aku memaafkannya.
Dia kembali pada televisinya, tanpa tarian.
Makanan
sudah siap untuk kami santap. aku akan menyuapi dia dahulu baru makan
sesudahnya. Bau busuk menyeruak ketika aku di dekat Vano, dan aku kenal
betul itu. Bau kotoran manusia. Spontan, kuintip bagian belakang celana
Vano yang tidak lagi kosong. Kecurigaanku terbukti. Kuseret Vano ke
kamar mandi, kubersihkan badannya sambil ngomel-ngomel dan berulang-ulang
kujewer dan kusentil kupingnya. Berteriak padanya, jika memang kebelet kenapa
tidak bilang? Kenapa tidak buang air di kamar mandi seperti biasa. Terlintas dalam pikiranku mungkin dia tidak
bilang karena masih ketakutan padaku.
Dia diam saja. Dia tidak
menangis, hanya mengangkat kedua tangannya, berusaha menutupi telinganya agar
tidak terkena sentilanku lagi.
Rasa
frustasi menekan dadaku. Semakin kutahan
kemarahan semakin ingin aku melampiaskannya pada Vano. Berteriak dan memukul
adalah cara yang paling mudah, meskipun kadang aku menyesalinya. Aku tarik nafas panjang sekali. Aku menyuruh
Vano keluar dan memintanya mengambil celana bersih dari lemari lalu
memakainya. Terduduk di kamar mandi,
dadaku sesak menahan tangis.
Oh
Vella, aku ingin kamu di sini.
Kami butuh kamu.
Badan
Vano sudah bersih, dan aku mulai menyuapinya. Setelah sebentar menenangkan diri di kamar
mandi tadi, emosiku lumayan lebih
terkontrol. Aku teringat Vella, mantan istriku. Kami bercerai hampir setahun
yang lalu karena, mungkin, keegoisanku.
Dulu
kami memiliki pernihakan yang bahagia.
Vella hampir selalu mendukung aku dan menerima aku bagaimana
adanya. Hingga Vano lahir, aku merasa Vella
berubah menjadi penuntut. Sejak awal
Vella tau aku adalah seorang desainer dimana penghasilanku tergantung pada
jumlah pelanggan yang membayar jasaku untuk mendesain kebutuhan mereka. Mulai dari kebutuhan promosi, seperti stiker
hingga blackboard sampai dengan
desain interior properti mereka seperti restoran, rumah atau perkatoran. Vella memintaku agar aku mau meluaskan bisnis
dengan membuat percetakan sehingga setelah mendesain aku bisa mencetaknya
sekaligus. Hal itu akan menambah
penghasilan kami, tapi aku terlalu malas dan merasa sudah berpuas diri dengan
penghasilan mendesain saja. Selain itu
otakku rasanya sudah pusing dengan segala atribut mendesain.
Ini bukan lagi hobi yang mendatangkan uang, karena aku tuntutan konsumen
yang beragam, dan aku tak lagi menikmatinya.
Hingga
perekonomian kami mulai terasa sulit karena permintaan mendesain tidak selalu
ada. Vella marah ketika suatu hari Vano
terpaksa kami bawa ke dokter umum saat ia sakit, bukannya ke dokter anak, untuk
menghemat biaya. Vano juga harus
mengganti susu formulanya dengan susu yang lebih murah. Vella merasa efek terburuk dari sifat
pemalasku adalah Vano. Pertengkaran demi
pertengkaran yang makin lama makin parah akhirnya berakhir pada
perceraian. Vella terlalu menuntut dan
aku merasa sangat dilecehkan. Disepelekan
dan tidak dihargai. Vella ingin Vano
ikut dia, tapi kemarahan membuatku ingin dengan sengaja menggagalkan sesuatu
yang betul-betul ia inginkan. Berbagai cara kulakukan agar Vano ikut aku, di
bawah perwalianku. Dan beginilah
akhirnya
Kupandangi
wajah Vano dan menyadari betapa miripnya ia dengan ibunya. Kulit putih, hidung
yang mancung dan mata cokelat susu yang indah.
Kesukaan mereka pada musik dan kegiatan membaca sungguh tak
terelakkan. Mereka betul-betul mirip. Berapa lama mereka sudah tak pernah saling
jumpa? Oh, hampir satu tahun. Aku kaget,
betapa sudah lama waktu berlalu, dan aku bahkan tidak pernah memikirkan apakah
Vano merindukan ibunya selama itu. Sesuatu menusuk hatiku dan aku berusaha
mengabaikannya. Aku meneruskan kegiatan
menyuapi Vano.
Selesai
menyuapi Vano, aku kembali pada pekerjaan dapur. Mesin cuci berdengung memutar baju kotorku
dan Vano, sementara aku mencuci tumpukan piring kotor. Vano berkutat dengan buku gambar dan krayon
dengan televisi yang tetap menyala. Jika
aku mematikannya maka Vano pasti akan menyalakannya lagi. Belakangan aku menyadari bahwa mungkin Vano
merasa televisi adalah satu-satunya temannya.
Aku hampir tak pernah mengajaknya bermain-main dengan cukup dan aku juga
tak pernah mengijinkannya keluar bermain kecuali aku memang lagi mau mengawasi. Tentu ia akan kesepian jika aku
mematikannya. Jika Vano ingin televisi
menyala, maka aku akan membiarkannya.
Aku ini bapak brengsek yang tak bisa menjadi teman anaknya yang
kesepian. Bahkan ketika menyadari bahwa aku ini adalah satu-satunya orang yang
dekat dengannya.
Senja
telah datang ketika pekerjaan rumah yang kutunda-tunda sejak seminggu yang lalu
itu beres semua. Aku baru saja sampai di
bawah setelah menjemur baju di lantai atas rumah ketika melihat pemandangan
yang amat menyedihkan. Kulihat Vano
berdiri kaku didepan layar televisi.
Kedua telapak tangannya membentuk tempurung menutupi telinga. Matanya menatap layar dihadapannya. Air matanya meleleh deras membasahi pipinya,
suaranya tercekik terdengar dari tenggorokannya.
”Khiik.. khiik..”. Bibirnya melengkung kebawah, gigi atas
menggigit bibir bawahnya seolah ingin menahan agar suara tangisnya tak
terdengar. ”Kenapa Vano?” tanyaku. Hanya isakan yang makin keras
dan airmata yang makin deras yang menjawabku.
Hidung dan matanya memerah.
Kualihkan pandanganku pada tayangan yang sedang ia lihat, walaupun sudah
di akhir bagian aku masih menangkap itu adalah sebuah iklan produk pelembut
pakaian. Baru sekali aku melihatnya di
televisi, mungkin Vano juga baru melihatnya baru saja. Sambil memeluk tubuh
Vano yang masih kaku aku berusaha mengingat kira-kira bagian mana yang
menakutkan sehingga ia menangis seperti itu.
Seolah
ada paku besar ditusukkan ke jantungku ketika mengingat adegan dalam iklan
itu. Seorang wanita cantik berambut
panjang bersama gadis kecil tertawa bergandengan tangan berlarian di padang
rumput yang luas. Kemudian sang wanita
dewasa mengangkat tubuh si kecil lalu
berputar-putar bersamanya dengan baju putih yang melambai-lambai tertiup angin,
menegaskan betapa lembut pakaian mereka.
Tapi aku yakin bukan baju itu yang Vano betul-betul perhatikan,
melainkan betapa bahagianya sang anak kecil itu bermain-main bersama
ibunya. Aku ingat, ini bukan pertama
kali Vano menangis ketika melihat televisi, tapi aku tak pernah peduli. Tak
pernah memperhatikannya. Vano pasti rindu
pada ibunya dan ia tak bisa mengekspresikannya.
Dan aku tak pernah memikirkan hal itu, sampai hari ini. Yang kupikirkan, rupanya, hanya diriku
sendiri.
Kupeluk
tubuhnya makin erat, namun tubuhnya tetap kaku, hanya bahunya yang
bergerak-gerak seirama dengan isak tangis yang ia tahan. Ya Tuhanku....
Ia
merindukan ibunya, tapi tak pernah mengatakannya padaku. Mungkinkah ia terlalu takut, atau bahkan
karena ia tak tahu bagaimana mengatakannya.
Tak mengetahui bahwa kesedihan yang ia rasakan adalah kerinduan. Ia jauh dari Ibunya, namun aku bahkan tak
dapat memenuhi kebutuhannya sebagai seorang ayah. Menangis pun bahkan ia tak berani. Seburuk itu aku menjadi ayah.
Kuelus
rambutnya dan berbisik ditelinganya ”Vano, Papa sayang Vano. Mama juga sayang Vano. Kita akan menelpon Mama, dan akan bertemu
mama secepatnya.” Aku mengulangnya sambil menatap wajahnya, lalu tubuh Vano
perlahan melepas kekakuannya. Isakannya
berubah menjadi tangis. Tangis yang juga
mengalir dari mataku. Seperti air mengalir deras dari bendungan yang jebol. Tak
tertahankan. Tangis yang melegakan kami berdua.
Tangan
Vano mulai memeluk leherku. Seperti bayi
baru lahir, aku menangis hingga badanku terguncang-guncang dengan dahi yang
menempel di bahu kanan Vano.
Cahaya
terang seolah masuk melalui celah pintu hatiku yang mulai membuka. Hatiku yang dipenuhi penyesalan.
Betapa keegosian bisa menjadi begitu kejam hingga harus mengorbankan banyak
hal. Cahaya yang seolah membantuku menghimpun keberanian untuk menghubungi Vella, apapun resikonya.
~J
No comments:
Post a Comment