Monday, September 2, 2019

Lorong itu

Sontak aku terbangun dari tidurku. Kedua tanganku berada di dadaku, seolah ingin menenangkan detak jantung yang begitu kuat. Detak jantung yang begitu kuat, seakan–akan hampir meloncat keluar dari tubuhku. Mataku nyalang melihat sekelilingku. Beberapa detik mataku menyesuaikan dengan kegelapan. Syukurlah aku berada dikamarku, dan aku baru saja mengalami mimpi buruk.

Suami dan anak–anak ku tidak ada di tempat tidur. Ah mungkin mereka berada di kamar depan. Tempat mereka biasa bermain hingga ketiduran. Kulihat jam dinding. Jarum panjang berada diantara angka 7 dan 8, sedangkan jarum pendek hampir mencapai angka 3. Sedikit menggerakkan badan untuk meregangkan otot, lalu aku turun dari tempat tidur menuju ke kamar mandi. Aku mau mengambil air wudlu. Mau sholat tahajud, menenangkan hati setelah mimpi buruk barusan.

Aku buka pintu kamarku, ”Kriiieeekkkk……”
Entah mengapa tiba–tiba engselnya seperti kehabisan pelumas. Saat itu juga aku merasakan suasana yang lain dari biasanya. Suasana yang sepi. Hawa dingin sontak menerpa tubuhku pintu kamar terbuka sepenuhnya. Kulangkahkan kakiku ragu–ragu. Gelap, tak ada cahaya sama sekali. Kembali mataku berusaha menyesuaikan dengan kegelapan. Mengapa lampu kecil yang biasa hidup saat lampu lain mati juga ikut mati ya? Sudahlah aku tak ingin membuang waktu memikirkan jawabannya.. Dua langkah kedepan, dinding di sebelah kananku, ada saklar disitu. Dua langkah kedepan, aku meraba dinding itu, kurasakan seperti ada bulu halus bergerak menyentuh tanganku. Spontan kutarik kembali tangan kananku yang kemudian meremas bagian atas depan dasterku hingga sedikit terangkat. Tangan kiri ku mengusap–usap punggung tangan kananku. ”Apa itu tadi?”

Cepat-cepat kuhapus pikiran yang sontak dipenuhi hal–hal seram. Cepat–cepat pula aku tekan saklar yang tadi telah teraba oleh tangan ku. Lampu kuning bohlam 5 watt menyala. Segera aku menuju ke kamar mandi. Suasana dapur yang menghubungkan ruang tamu dengan kamar mandi tiba–tiba terasa berbeda. Aku jadi teringat cerita mantan pembatuku yang katanya pernah melihat wanita tua yang mengenakan baju kebaya dan jarik, dengan rambut putih panjang terurai berjalan dari pintu samping rumah menuju ke kamar mandi. Merinding. Sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdetak kencang aku langsung menyalakan pintu kamar mandi dan membuka pintunya. Dan…

Aku berusaha mengosongkan pikiran. Tidak berpikir apa–apa. Hanya menggerakkan tangan untuk membuka kran lalu berwudlu. Nafasku tercekat, mataku membelalak. Spontan tubuhku melompat ke belakang. Bukan air yang keluar dari kran, melainkan darah. Darah segar yang mengocor deras dari lubang kran. Dengan keberanian yang kukumpulkan sekuat tenaga, kumatikan kran itu. Terkaget, bagian belakang tubuhku menabrak sisi bak mandi. Kulayangkan pandangan ke sekeliling kamar mandi… lalu pandangan mataku berhenti pada cermin kecil yang memang sudah sejak lama berada disitu, bahkan sejak sebelum aku memasuki rumah ini. Cermin yang biasa ku pakai untuk memandang refleksi diri itu tiba–tiba terasa menyeramkan. Dan kulihat pantulan wajahku yang pucat ketakutan. Kucoba mengalihkan pandanganku kembali ke kran, dan tak ada darah disitu. Tidak setitikpun. ”Ya Allah, mungkinkah tadi aku hanya salah lihat. Lindungi hamba ya Allah. Saya hanya ingin berwudlu untuk menjalankan shalat sunah.” ucapku dalam hati, sambil berdoa. Dalam keraguan untuk tetap menjalankan niat sholat dan kembali ke kamar, menutup dan menguncinya dari dalam lalu bersembunyi dalam selimut, hatiku mendorong diri untuk tetap menjalankan niat sholatku.

Perlahan, dengan tangan bergetar, kubuka kran itu. Masya Allah.. darah lagi yang keluar. Kali ini lebih darah dengan warna merah yang lebih gelap, lebih deras dan disertai bau anyir. Darah yang keluar mengalir mengotori kakiku. Panik. Dengan nanar kulihat ke sekelilingku. Dinding kamar mandi yang sebelumnya putih tiba–tiba menjadi kotor. Berlumut di mana–mana. Kupandangi cermin toilet yang tadi, tak ada pantulan cayaha di situ. Hitam. Gelap. Tergesa-gesa aku keluar dari kamar mandi, tak peduli dengan darah yang menempel di kakiku. Tak terpikirkan untuk membersihkannya. Saat memasuki ruang tengah, ini bukan ruang tengah rumahku. BUKAN! Aku ingin berteriak meminta tolong, namun suaraku terhenti ditenggorokan. Berulang–ulang aku mencobanya, tapi gagal.

Ruangan itu seperti kubus besar, dengan sisi dinding berbahan dari kayu jati yang diplitur dengan warna coklat tua sehingga menambah kesan gelap dan singup. Ada tiang yang juga terbuat dari kayu besar di tengah–tengahnya. Banyak jendela di sepanjang dinding ruangan ini. Terlalu banyak malah. Jendela dengan kusen berwarna lebih terang dari pada warna plituran dinding kayunya dan kaca bening namun terlihat hitam karena tak ada cahaya yang masuk dari luar. Semua jendela dalam keadaan tertutup. Tak ada kursi, meja maupun benda lain di ruangan itu. Ada pintu kayu yang tingginya hampir mencapai atap rumah. Pintu yang terbagi menjadi dua dan salah satu daun pintu terbuka.

Tak peduli, aku tak mengenali ruangan ini, aku hanya ingin keluar dari tempat ini. Berlari aku menuju ke pintu yang setengah terbuka itu, dan langkahku kembali terhenti. Aku seperti melihat ruangan yang sama, kotak kubus kayu yang sama, persis seperti ruangan yang sebelumnya kumasuki. Jantungku berdetak makin kencang. Kali ini tercium bau obat nyamuk bakar. Sayup–sayup kudengar ada suara–suara di kejauhan. Kutajamkan pendengaranku. Suara itu suara gamelan. Terdengar samar–samar karena sepertinya sumber suara itu jauh dari tempat ini, tapi aku yakin sekali, itu suara gamelan. Sepertinya di sebelah barat ruangan ini. Mataku menemukan sumber bau tadi, ada obat nyamuk di pojok kanan ruangan, tepat di bawah jendela. Rumah siapa ini? Bangunan apa ini? Mengapa tidak ada kursi atau meja? Tubuhku bergetar. Aku ingin menangis saking takutnya. Tanganku kaku, dingin, dan basah karena panik dan ketakutan. Berulang ulang dasterku menjadi teman penyaluran rasa takutku. Kutarik, kuremas.

Otakku memerintahkan tubuhku untuk terus mencari pintu keluar. Aku harus mencari jalan keluar. Aku berlari menuju pintu yang sama persis dengan pintu yang kulihat sebelumnya di ruangan tadi. Kembali kutemui kotak yang sama. Tak peduli, aku terus berlari, berlari, berlari… … hingga..

Langkahku terhenti karena menemukan ruangan yang berbeda bentuknya setelah entah berapa kali aku menemui ruangan yang sama. Aku bertemu dengan lorong yang sangat panjang dan gelap tepat di depan pintu tempat aku berdiri. Lebarnya mungkin hanya sekitar 1 meter sama dengan lebar pintu ini. Sepertinya ada pintu–pintu yang menghubungkan lorong ini dengan ruangan– uangan lain lagi. Aroma busuk menyeruak menusuk hidungku. Sepertinya diterbangkan oleh angin dari tengah– tengah lorong gelap ini. Aku melihat setitik cahaya putih terang diujung lorong tersebut. Sepertinya itu cahaya matahari. Mungkinkah pagi telah datang? Mungkinkah itu jalan keluar dari lorong ini, ruangan ini, rumah yang menakutka ini? Ya Allah, semoga.


Aku harus melewati lorong panjang ini untuk menuju jalan keluar itu. Aku harus melewati lorong dengan bau busuk yang menyebar – seperti - nya di sepanjang lorong ini. Dan aku tidak tau ada apa di tengah tengah lorong ini. Kubalikkan badanku, dan kulihat lagi ruangan coklat tua mencekam. Tidak, aku tidak mau kembali ke ruangan itu. Aku harus keluar dari sini. Apapun yang akan aku temui di lorong itu… aku harus melewatinya. Aku harus keluar dari sini. Wajah anak–anakku tergambar dalam pikiranku. Aku merindukan mereka. Aku tidak mau terjebak disini. Masih banyak yang harus kulakukan di dunia ku. Duniaku yang nyata. Bukan disini.

Dalam panik, aku berdoa, memohon ampun atas segala kesalahan dan dosa. Memohon ampun untuk setiap kesombongan, kedengkian, ketamakan. Dalam panik aku memohon dan berdoa, sambil tertawa ironis. Manusia, selalu saat tercepit dalam sempit, baru teringat meminta ampun. Memalukan, tapi tetap aku lakukan. Memohon ampun dan selamat.

Suara gamelan yang tadi kudengar dan kemudian kuabaikan saat aku berlari lari tadi kembali terdengar. Kali ini lebih jelas. Mungkindari salah satu ruangan yang terdapat dilorong ini. Merinding. Aku teringat mbak kakungku yang biasa memutar lagu– agu gending jawa. Tapi musik gamelang yang kudengar ini sangat mendayu–dayu dengan tempo yang sangat lambat. Aku seperti terbang ke masa lalu.. entah kapan.
Kubulatkan tekat. Aku mulai berlari. Makin kencang. Makin cepat. Suara gamelan menghilang, terganti dengan suara suara mengerikan. Suara wanita yang sangat sayuup tapi sepertinya dibisikan dari belakang telingaku ”Lastrii…..” Tak berani menengok kebelakang, aku terus berlari. Leherku sakit karena teriakanku yang tak dapat kusuarakan dan berhenti disitu. ”Laaastriiiiii…” Bulu – bulu tangan ku berdiri, air mataku telah mengalir deras. Aku tidak boleh takut, aku tidak boleh berhenti, aku tidak boleh menengok ke belakang. Aku terus berlari menyusuri lorong itu, dan suara itu tidak lagi terdengar. Begitu pula suara gamelan tadi. Namun bau busuk masih tercium di hidungku. Kelelahan kuperlambat langkah kakiku. Cahaya itu terlihat masih cukup jauh.

Aku terjatuh. Tubuhku menyentuh lantai lorong yang ternyata tanah. Aku baru menyadarinya. Kakiku tersandung sesuatu. Saat aku mencoba berdiri, kutolehkan kepalaku kebelakang, dan tiba–tiba sepasang mata berwarna merah bulat besar melotot kepadaku. Dengan cahaya yang terpendar dari mata itu aku dapat melihat si empunya mata, sesuatu yang sepertinya sangat besar dan berbulu. Bola matanya membesar dan mahkluk itu mengeluarkan suara yang sangat menakutkan. Suara yang serak dan berat, seperti suara harimau. Rendah, menggeram. Dengan posisi yang masih bersimpuh, aku menggerakan tubuhku menjauhi mahkluk itu, hingga aku dapat berdiri kembali. Namun Ia terus mendekatiku. Dan aku kembali….

Berlari… berlari.. berlari….. Pandanganku kabur karena air mata yang cepat–cepat kuhapus dengan punggung tanganku. Aku tak berani menengok kebelakang. Dan aku terjatuh lagi, ada sesuatu yang berbulu menahan kakiku hingga tubuhku tersungkur. Aku balikkan tubuhku dan mahkluk mengerikan dengan mata mencorong itu mendekat ke wajahku. Aku berteriak keras, sangat keras, dan

Sontak aku terbangun dari tidurku. Kedua tanganku berada di dadaku, seolah ingin menenangkan detak jantung yang begitu kuat. Detak jantung yang begitu kuat, seakan–akan hampir meloncat keluar dari tubuhku. Mataku nyalang melihat sekelilingku. Beberapa detik mataku menyesuaikan dengan kegelapan. Syukur lah.. aku berada dikamarku.. dan aku baru saja mengalami mimpi buruk.

Suami dan anak–anak ku tidak ada di tempat tidur. Ah mungkin mereka berada di kamar depan. Tempat mereka biasa bermain hingga ketiduran. Kulihat jam dinding. Jarum panjang berada diantara angka 7 dan 8, sedangkan jarum pendek hampir mencapai angka 3. Sedikit menggerakkan badan untuk meregangkan otot, lalu aku turun dari tempat tidur menuju ke kamar mandi. Aku mau mengambil air wudlu. Mau sholat tahajud, menenangkan hati setelah mimpi buruk barusan.

Aku buka pintu kamarku, ”Kriiieeekkkk………”


-Jilena Gori -

No comments:

Post a Comment

resah

keresahan itu  seperti terbangun dari mimpi tersepi dengan tubuh bergetar dan jantung yang berdebar kegelisahan yang tidak dimengerti sepert...