Saturday, April 23, 2022

Jangan ada Matahari

Pada wanita berparas manis itu, hatiku bertaut.  Berhenti disana dan tak dapat melihat atau mendengar yang lain.  Hatiku bagai tawanan yang terikat tanpa paksaan.

 

Pengabdian yang begitu total, begitu utama hingga menyerupai pemujaan.  Kesetiaan yang terlahir hampir tanpa dorongan kecuali hati.  Begitu saja.  Seperti lumut di bebatuan lembab yang tumbuh begitu saja.  Tanpa bibit yang sengaja ditanam, tanpa pupuk yang sengaja ditaburkan.  Tumbuh begitu saja.  Tak perlu repot memikirkan bagaimana agar kesetiaanku selalu ada, selama dalam suhu yang sama, hal itu akan selalu ada.  Satu-satunya hal yang dapat menghapusnya adalah ’ketidakinginan’mu.  Itulah kesetiaanku.

 

Masa demi masa yang kurajut bersama tetes-tetes keringat jiwa juga sulur-sulur doa tanpa henti hanya untukmu.  Untuk kebaikanmu.  Kebahagianmu, wahai Wanita penguasa hatiku.

 

Kesetiaan dan pengabdianku ini bukannya tanpa balas.  Tidak, tentu saja tidak.  Apa yang kuharapkan sebagai balas? Senyummu.  Tersenyumlah, hanya untukku.  Kau mengerti? Senyum. Hanya. Untukku.

 

Masa demi masa, kau selalu membuatku bahagia.  Kau selalu tersenyum padaku.  Pengabdianku bahkan tak ada artinya dibanding senyum yang selalu kauberikan padaku.  Hanya seperti keset di depan pintu dengan istana besar sebagai bandingannya.  Senyummu adalah kebahagiaan.  Senyummu yang hanya untukku adalah kebahagiaan yang kau bagi bersamaku.  Itu adalah segalanya bagiku.

 

Lalu sang Lelaki Matahari itu datang dengan segala kesempurnaannya yang amat kubenci.  Gagah, tampan, aura emasnya berpendar bersinar-sinar gemilang.  Bukannya aku tak punya sinar, tapi aku adalah gelap kala dia ada.  Kau tak lagi melihatku.  Sekuat apapun usahaku untuk menunjukkan cahayaku, aku tetap tak terlihat.  Setengah mati aku menunjukkan eksistensiku, kau bahkan seperti lupa bahwa aku pernah ada.  Dan kau tak lagi memandang sayang padaku.  Tersenyum padaku.  Bagaimana mungkin aku tak membecinya? 

 

Merusak segala stabilitas yang mati-matian kupertahankan.  Mengaburkan, bahkan menghapus arti setiap detik pengabdianku, kesetiaanku, pemujaanku padamu.  Dia telah merebut sesuatu yang kusebut jiwa.  Mencabutnya dari hatiku lalu meninggalkannya dengan luka menganga begitu saja.   Begitu piawai dia melakukannya, merusak dan mengacak-acak sesuatu yang kususun dan kujaga dengan berhati-hati selama bermasa-masa.  Seperti cat hitam yang ditumpahkan pada lembar besar kertas yang berisi kaligrafi yang kutulis penuh perasaan, berhati-hati, bahkan menahan nafasku agar tetap terjaga kesempurnaannya, tepat saat kata terakhir berhasil kutorehkan.  Rusak.  Hilang.  Hitam.  Tak berarti.  Begitu piawai dan berbakatnya dia melakukan semua itu, bahkan hanya dengan diam.

 

Coba jelaskan padaku, bagaimana mungkin aku tak membencinya?

 

Masa yang kulalui setelah kedatangannya, sungguh bagai rangkaian duri tajam dan beracun yang mengikat kencang seluruh tubuhku.  Melihat matamu yang bersinar-sinar saat memandangnya, bahkan saat dia tidak melihat ke arahmu.  Racun pada duri yang menusuk tajam  kulitku  dengan segera menyebar  keseluruh tubuhku.  Menyakitku begitu parah, begitu menyiksa.  Setiap usahaku untuk mengabaikannya membuat pedih itu makin terasa. Kau mengabaikanku, melupakanku.  Tak ada lagi senyum untukku.  Tak ada lagi kebahagiaan untukku.

 

Kosong.  Hidupku kosong.  Seperti bola tanpa isi, kecuali gelap dan luka basah menganga yang menempel di setiap sisi-sisinya.  Tak dapat dilepas, tak mungkin terobati, karena kau tak mungkin berpaling dari Lelaki Matahari itu, kau sendiri yang menegaskannya padaku.  Aku menunggu kau menyuruhku pergi.  Aku menunggu kau memintaku menghapus rasaku, tapi kau tak juga mengatakannya.  Kau diam.  Dan kau terus mengagumi Lelaki Matahari itu.  Jadi aku ini siapamu?

 

Pecundang.  Pada akhirnya aku akan menjadi bukan siapa-siapa bagimu.  Ini lah akhir itu.  Membohongi diri hingga selama ini, menganggap loyalitas serta kegigihanku mengejarmu akan menggerakkan hati dan jiwamu, bukan hanya belas kasihmu.  Ternyata kenyataan memang pembohong besar.  Begitu kejam, mengijinkan lelaki Matahari itu datang dalam hubungan kita.

 

Benarkah, aku harus pergi? Menyerah dan mengenyahkan diri dari sini?  

 

Pantai ini harusnya menjadi saksi kebahagianku, kaulah yang menunjukkannya padaku kala itu. Siapa sangka pantai ini justru menjadi saksi kekalahanku.

 

Brengseeeeeeeeeek!!!!! Semoga pantai ini mendengarku dan dengan caranya menyampaikan padamu betapa marahnya aku.  Kecewa! Marah!! Sangat marah!!!

 

Dan aku sedih.. 

 

Dadaku sakit sekali.  

 

Matahari senja itu seolah mengejekku, mengatakan bahwa meskipun Ia tenggelam malam ini, Ia akan terbit kembali esok pagi.  Sedangkan aku??

 

Andai bisa, aku akan meminta Tuhan memutar bumimu agar sang Lelaki Matahari ini tenggelam bersama senja.  Andai aku dapat meminta sang angin mengarak kelabu langit menyelimuti serpihan-serpihan  cahaya yang ditinggalkannya hingga tak tersisa.  Tak ada lagi jejak Matahari yang tertinggal untuk kau pandangi dan kau beri senyum, karena malam menjelang datang.

 

Terakhir yang kuminta, jangan biarkan bumi berputar lagi.  Aku tak ingin ada matahari.

 

No comments:

Post a Comment

resah

keresahan itu  seperti terbangun dari mimpi tersepi dengan tubuh bergetar dan jantung yang berdebar kegelisahan yang tidak dimengerti sepert...