Sunday, December 10, 2017

VANO

Menjadi seorang ayah dan seorang diri membesarkan anak laki-laki berumur empat tahun bukanlah sesuatu yang bagus untuk kau pilih untuk kau jalani.  Tapi ini bukan lagi sebuah pilihan.  Ini adalah efek dari sebuah keegoisan yang dulu pernah aku agungkan  tanpa pikir panjang.  Sengaja memisahkan Vano  dari ibunya ternyata bukan keputusan yang bijak, dan kini aku harus menanggung semua akibatnya. Bukan, bukan hanya aku. Tetapi kurasa Vano yang lebih banyak menanggung akibat dari keegoisanku itu.


Pada sebuah siang yang terik di hari Minggu.

Wajahnya memerah dan basah oleh air mata.  Ingus keluar dari hidungnya tak lagi dapat dikendalikan, terseret hingga ke pipi oleh sapuan punggung tangannya.  Matanya sembab dikelilingi warna merah, terlihat makin lebar karena kantung matanya menggelembung, Ia menangis hampir setengah jam tanpa henti. 

"Maaf Papa", katanya padaku.  Huh, belum juga lima tahun, sudah pintar cari muka anak ini. Aku diam saja, mengabaikan permintaan maafnya dan terus memandang marah padanya.  Kemarahan dan semua emosi frustasi seolah tersedot dan tersalurkan melalui mata marahku yang memandangnya.

"Vano minta maaaaf" sekali lagi Ia mencoba merayuku dengan permintaan maaf.  Seharian ini kelakuannya benar-benar menjengkelkan.  Membuatku panik setengah mati karena tak dapat menemukannya dimana-mana.  Tadi dia bersepeda di komplek perumahan, aku hanya sebentar saja meninggalkannya untuk kencing, dan dia sudah hilang dari pandangan.  Kesepakatan yang sudah ia langgar adalah bersepeda hanya boleh di sepanjang gang rumah kami.  Lima belas menit terasa begitu lama ketika aku berkeliling perumahan menggunakan sepeda motor untuk mencarinya.  Dengar terpaksa aku bertanya pada tetangga di sekitar jika mereka melihat anak lelakiku. Aku sebetulnya tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan, tapi tetap saja aku tak suka dengan tatapan mata penasaran mereka, tiap aku ‘kehilangan’Vano.

Lega, saat kulihat dia di pojokan, agak jauh dari sepedanya yang tergeletak di tengah lapangan.  Namun kelegaanku hilang tergilas teror.  Kekawatiran dan kemarahan saat kulihat beberapa anak dengan tubuh lebih besar dari Vano mengelilinginya. Saat aku sudah dekat, dapat kusaksikan mereka sedang mengeroyok Vano.  Anak yang berbaju merah mengayunkan tinjunya ke lengan Vano, sedetik kemudian disusul oleh anak berbaju hijau kotak-kotak berambut cepak yang mendorong tubuh kecil Vano hingga jatuh terduduk.  Kemarahanku memuncak dan aku berteriak saat kulihat seorang anak perempuan mengambil batu yang aku yakin akan dilemparkan ke kepala Vano.

"HEIII!!!",  cukup satu teriakan saja dan gerombolah preman cilik itu bubar.  Aku berusaha mengingat dan menghapal wajah mereka, berencana akan memukul mereka jika ada kesempatan, untuk membalaskan Vano tentu saja.  Aku tak akan menanyakan alasan mengapa mereka memukul Vano, karena aku tak peduli dan aku akan tetap memarahi mereka.  Kustandarkan motorku dan berjalan kearah Vano setelah sebelumnya mengambil sepedanya.  Wajahnya pucat namun tidak menangis.  Dia sudah berdiri kembali setelah sempat terjatuh didorong salah satu preman cilik tadi.  Tangannya bergetar berusaha membersihkan celananya dari debu.  Matanya memandangku liar,  seolah bingung tidak tau harus seperti apa.  Seperti ingin menangis tapi takut aku marahi.  Seperti ingin memelukku tapi takut aku menolakknya, Bagaimanapun dia sudah melanggar kesepakat "sepanjang gang" denganku.  Dia tidak menangis, hanya memandangku dengan tatapan yang membingungkan itu.  Kulihat bahunya bergerak naik turun, nafasnya terdengar keras tertiup dari hidungnya.  Brengsek!!  Aku marah karena dia melanggar perintahku.  Aku marah karena dia tidak membalas saat dihajar anak-anak tadi.  Aku marah karena aku tidak bisa mengajarinya membela diri.  Aku marah karena hal ini sudah terjadi berulang kali.  Aku marah karena anakku hanya diam saja, bukannya menangis atau mengadu padaku. 

Aku marah karena aku tidak tau lagi harus bagaimana. Kutarik tubuhnya menuju motorku.  Kami pulang bergoncengan dengan sepedanya berada di bagian depan motorku.  Akhirnya aku diamkan saja anak itu tanpa membahas masalah tadi.  Dia menonton televisi dan aku melanjutkan pekerjaanku yang seolah-olah tak akan pernah selesai.  Cucian baju dan piring menumpuk karena tak kusentuh selama berhari-hari, dan aku harus menyiapkan makan siang kami.  Meski aku masih jengkel, tak urung aku perhatikan juga apa yang sedang Vano lakukan, sambil aku sibuk di dapur.  Masih didepan televisi, tubuhnya bergerak ke kanan dan ke kiri seperti menari, tapi terlalu cepat dan tidak sesuai dengan apa yang sedang ditontonnya.  Dia memandangku, matanya kembali dipenuhi rasa takut.  Tubuhnya tak lagi bergerak-gerak, mungkin dia merasa, menari adalah juga kesalahan, ditilik dari pandanganku yang tidak bersahabat baru saja.  Sebenarnya aku tidak bermaksud marah, tidak ramah mungkin, kan aku masih belum ingin menunjukkan kalau aku memaafkannya.  Dia kembali pada televisinya, tanpa tarian.

Makanan sudah siap untuk kami santap.  aku akan menyuapi dia dahulu baru makan sesudahnya.  Bau busuk menyeruak ketika aku di dekat Vano, dan aku kenal betul itu. Bau kotoran manusia.  Spontan, kuintip bagian belakang celana Vano yang tidak lagi kosong.  Kecurigaanku terbukti.  Kuseret Vano ke kamar mandi, kubersihkan badannya sambil ngomel-ngomel dan berulang-ulang kujewer dan kusentil kupingnya.  Berteriak padanya, jika memang kebelet kenapa tidak bilang? Kenapa tidak buang air di kamar mandi seperti biasa.  Terlintas dalam pikiranku mungkin dia tidak bilang karena masih ketakutan padaku.  Dia diam saja.  Dia tidak menangis, hanya mengangkat kedua tangannya, berusaha menutupi telinganya agar tidak terkena sentilanku lagi.

Rasa frustasi menekan dadaku.  Semakin kutahan kemarahan semakin ingin aku melampiaskannya pada Vano. Berteriak dan memukul adalah cara yang paling mudah, meskipun kadang aku menyesalinya.  Aku tarik nafas panjang sekali. Aku menyuruh Vano keluar dan memintanya mengambil celana bersih dari lemari lalu memakainya.  Terduduk di kamar mandi, dadaku sesak menahan tangis. 

Oh Vella, aku ingin kamu di sini.  Kami butuh kamu.

Badan Vano sudah bersih, dan aku mulai menyuapinya.  Setelah sebentar menenangkan diri di kamar mandi tadi,  emosiku lumayan lebih terkontrol. Aku teringat Vella, mantan istriku. Kami bercerai hampir setahun yang lalu karena, mungkin, keegoisanku.

Dulu kami memiliki pernihakan yang bahagia.  Vella hampir selalu mendukung aku dan menerima aku bagaimana adanya.  Hingga Vano lahir, aku merasa Vella berubah menjadi penuntut.  Sejak awal Vella tau aku adalah seorang desainer dimana penghasilanku tergantung pada jumlah pelanggan yang membayar jasaku untuk mendesain kebutuhan mereka.  Mulai dari kebutuhan promosi, seperti stiker hingga blackboard sampai dengan desain interior properti mereka seperti restoran, rumah atau perkatoran.  Vella memintaku agar aku mau meluaskan bisnis dengan membuat percetakan sehingga setelah mendesain aku bisa mencetaknya sekaligus.  Hal itu akan menambah penghasilan kami, tapi aku terlalu malas dan merasa sudah berpuas diri dengan penghasilan mendesain saja.  Selain itu otakku rasanya sudah pusing dengan segala atribut mendesain.  Ini bukan lagi hobi yang mendatangkan uang, karena aku tuntutan konsumen yang beragam, dan aku tak lagi menikmatinya.

Hingga perekonomian kami mulai terasa sulit karena permintaan mendesain tidak selalu ada.  Vella marah ketika suatu hari Vano terpaksa kami bawa ke dokter umum saat ia sakit, bukannya ke dokter anak, untuk menghemat biaya.  Vano juga harus mengganti susu formulanya dengan susu yang lebih murah.  Vella merasa efek terburuk dari sifat pemalasku adalah Vano.  Pertengkaran demi pertengkaran yang makin lama makin parah akhirnya berakhir pada perceraian.  Vella terlalu menuntut dan aku merasa sangat dilecehkan.  Disepelekan dan tidak dihargai.  Vella ingin Vano ikut dia, tapi kemarahan membuatku ingin dengan sengaja menggagalkan sesuatu yang betul-betul ia inginkan. Berbagai cara kulakukan agar Vano ikut aku, di bawah perwalianku.  Dan beginilah akhirnya

Kupandangi wajah Vano dan menyadari betapa miripnya ia dengan ibunya. Kulit putih, hidung yang mancung dan mata cokelat susu yang indah.  Kesukaan mereka pada musik dan kegiatan membaca sungguh tak terelakkan.  Mereka betul-betul mirip.  Berapa lama mereka sudah tak pernah saling jumpa? Oh, hampir satu tahun.  Aku kaget, betapa sudah lama waktu berlalu, dan aku bahkan tidak pernah memikirkan apakah Vano merindukan ibunya selama itu. Sesuatu menusuk hatiku dan aku berusaha mengabaikannya.  Aku meneruskan kegiatan menyuapi Vano.

Selesai menyuapi Vano, aku kembali pada pekerjaan dapur.  Mesin cuci berdengung memutar baju kotorku dan Vano, sementara aku mencuci tumpukan piring kotor.  Vano berkutat dengan buku gambar dan krayon dengan televisi yang tetap menyala.  Jika aku mematikannya maka Vano pasti akan menyalakannya lagi.  Belakangan aku menyadari bahwa mungkin Vano merasa televisi adalah satu-satunya temannya.  Aku hampir tak pernah mengajaknya bermain-main dengan cukup dan aku juga tak pernah mengijinkannya keluar bermain kecuali aku memang lagi mau mengawasi.  Tentu ia akan kesepian jika aku mematikannya.  Jika Vano ingin televisi menyala, maka aku akan membiarkannya.  Aku ini bapak brengsek yang tak bisa menjadi teman anaknya yang kesepian. Bahkan ketika menyadari bahwa aku ini adalah satu-satunya orang yang dekat dengannya.

Senja telah datang ketika pekerjaan rumah yang kutunda-tunda sejak seminggu yang lalu itu beres semua.  Aku baru saja sampai di bawah setelah menjemur baju di lantai atas rumah ketika melihat pemandangan yang amat menyedihkan.  Kulihat Vano berdiri kaku didepan layar televisi.  Kedua telapak tangannya membentuk tempurung menutupi telinga.  Matanya menatap layar dihadapannya.  Air matanya meleleh deras membasahi pipinya, suaranya tercekik terdengar dari tenggorokannya. 

 ”Khiik.. khiik..”.  Bibirnya melengkung kebawah, gigi atas menggigit bibir bawahnya seolah ingin menahan agar suara tangisnya tak terdengar. ”Kenapa Vano?” tanyaku. Hanya isakan yang makin keras dan airmata yang makin deras yang menjawabku.  Hidung dan matanya memerah.  Kualihkan pandanganku pada tayangan yang sedang ia lihat, walaupun sudah di akhir bagian aku masih menangkap itu adalah sebuah iklan produk pelembut pakaian.  Baru sekali aku melihatnya di televisi, mungkin Vano juga baru melihatnya baru saja. Sambil memeluk tubuh Vano yang masih kaku aku berusaha mengingat kira-kira bagian mana yang menakutkan sehingga ia menangis seperti itu.

Seolah ada paku besar ditusukkan ke jantungku ketika mengingat adegan dalam iklan itu.  Seorang wanita cantik berambut panjang bersama gadis kecil tertawa bergandengan tangan berlarian di padang rumput yang luas.  Kemudian sang wanita dewasa mengangkat  tubuh si kecil lalu berputar-putar bersamanya dengan baju putih yang melambai-lambai tertiup angin, menegaskan betapa lembut pakaian mereka.  Tapi aku yakin bukan baju itu yang Vano betul-betul perhatikan, melainkan betapa bahagianya sang anak kecil itu bermain-main bersama ibunya.  Aku ingat, ini bukan pertama kali Vano menangis ketika melihat televisi, tapi aku tak pernah peduli. Tak pernah memperhatikannya.  Vano pasti rindu pada ibunya dan ia tak bisa mengekspresikannya.  Dan aku tak pernah memikirkan hal itu, sampai hari ini.  Yang kupikirkan, rupanya, hanya diriku sendiri.

Kupeluk tubuhnya makin erat, namun tubuhnya tetap kaku, hanya bahunya yang bergerak-gerak seirama dengan isak tangis yang ia tahan.  Ya Tuhanku....

Ia merindukan ibunya, tapi tak pernah mengatakannya padaku.  Mungkinkah ia terlalu takut, atau bahkan karena ia tak tahu bagaimana mengatakannya.  Tak mengetahui bahwa kesedihan yang ia rasakan adalah kerinduan.  Ia jauh dari Ibunya, namun aku bahkan tak dapat memenuhi kebutuhannya sebagai seorang ayah.  Menangis pun bahkan ia tak berani.  Seburuk itu aku menjadi ayah.

Kuelus rambutnya dan berbisik ditelinganya ”Vano, Papa sayang Vano.  Mama juga sayang Vano.  Kita akan menelpon Mama, dan akan bertemu mama secepatnya.” Aku mengulangnya sambil menatap wajahnya, lalu tubuh Vano perlahan melepas kekakuannya.  Isakannya berubah menjadi tangis.  Tangis yang juga mengalir dari mataku. Seperti air mengalir deras dari bendungan yang jebol. Tak tertahankan. Tangis yang melegakan kami berdua.

Tangan Vano mulai memeluk leherku.  Seperti bayi baru lahir, aku menangis hingga badanku terguncang-guncang dengan dahi yang menempel di bahu kanan Vano.

Cahaya terang seolah masuk melalui celah pintu hatiku yang mulai membuka.  Hatiku yang dipenuhi penyesalan.  Betapa keegosian bisa menjadi begitu kejam hingga harus mengorbankan banyak hal.  Cahaya yang seolah membantuku menghimpun keberanian untuk menghubungi Vella, apapun resikonya.




~J








No comments:

Post a Comment

resah

keresahan itu  seperti terbangun dari mimpi tersepi dengan tubuh bergetar dan jantung yang berdebar kegelisahan yang tidak dimengerti sepert...